Minggu, 26 Oktober 2008
Kota si Agung
Media televisi sudah menjadi budaknya. Agung Sedayu Group membabi buta beriklan di layar kaca seolah semua penonton yang terdiri dari pemilik televisi di rumah ataupun orang yang sekedar kebetulan nonton TV di rumah tetangganya adalah orang kaya. Tanpa ampun di bantainya beberapa media Tv dengan durasi setengah jam mempromosikan si Agung.
Dari sudut pandang semiotika ..... (nanti di lain waktu)
Yang menarik Jakarta yang notabene banjir dan kesulitan mencaari resapan air. Justru di bangun kira si Agung di daerah pesisir utara Jakarta. Dari sudut pandang tata kota ....
Belum lagi mal-mal merajalela. dari sudut pandang budaya pop kajian budaya
Tak kalah penting, bila hari ini saya sudahi dulu. besok ajalah. perut saya lapaaar!
marah itu melelahkan
kemaren satu harian, dua perempuan yang teramat saya sayangi marah.
adik perempuan dan pacar. Yang menarik atau juga lucu, kedua tanpa disengaja, di tempat berbeda dan jelang waktu yang tak lama mengeluarkan kalimat yang sama.
"Diam lo!!"
Melelahkan, saat keduanya marah. Terkadang saya akui juga menyebalkan. Dirasa, Luluh dan lemas semua kedua kaki saya rasanya, ingin cepat lenggah. Mata seperti ingin cepat-cepat dipejamkan dan tidur karena lelah, belum lagi tenggorokan seperti menyeka waktu yang tiba-tiba dahaga memuncak, haus berat gitulah. lebih lelah daripada berlari sprint 30 meter saja dengan waktu sesingkat-singkatnya.
Memang tidak tampak ng0s-ngosan-nya, tapi saya yang dirasa luluh sudah.
mengerikan juga, karena yang saya bisa diam. Karena saya tau bila melawan pun tak menang.
Entah, sepertinya kesalahan memang bertumpu pada saya.
Tapi saya tidak mau lelah untuk berikan yang terbaik untuk keduanya.
Saat ini, mereka adalah wanita muda yang saya cintai. Mereka patut menerima yang terbaik dan kebahagian.
Saya ingin menjaga dan membantu mewujudkan kebahagian mereka itu. Tidak bermaksud ber-teori pula. namun tekad sepertinya dimulai sejak dalam pikiran.
semoga. amin. titik.
Minggu, 19 Oktober 2008
bahaya kejenuhan.
dua suku kata itu ternyata menjadikan saya khawatir. Bak bom waktu yang akan meledak. Saya seperti seorang tentara yang menunggu bom waktu meledak oleh bom yang dipasangnya sendiri. 'Gawat' kalau saja hal itu menyerang saya. Sejauh ini belum. Masih ingat secuil kumpulan cerita tentang 'gadis pantai'. iya-begitulah, saya tidaklah susah melukiskan keindahan tentang gadis itu. Namun saya tidak bercerita dihari ini. Saya ingin menambahkan saja, senyumnya itu mengikat, menyengat dan membuat saya menggigil pula. Itu cukup sudah.
Coba saya tarik paradoksnya:
"mengikat, menyengat dan menggigil" itu menyulitkan saya untuk bosan. Saya anggap itu obat penawar dari bahaya kejenuhan.
Bom-pun bisa meledakkan saya kapan dan dimana saja. sampai saya pun didera bom bahaya kejenuhan. sekali lagi, bom itu belum ledakkan saya. Ini semua sebagai rasa, yang mungkin bisa jadi obat penawar pula. Cobalah untuk terus mengagumi seutuhnya apa yang sedang dijalani, meski berat. Mungkin itu rembesan dari mengikat, menyengat,& menggigil.
Saya akui pula, terkadang sulit. gadis pantai pun manusia. sangat lekat dengan ketidaksempurnaan. Saya tidak pernah bosan karena terus mengaguminya. itu saja.
Serasa runtuh semua kesal, benci, bosan disaat lakukan itu.
Yang terlupa, saya tidak pernah terbesit memikirkan gadis pantai itu punya rasa bosan. Dia pun tidak pernah bertopeng dengan saya-semoga saja-flo.
Saya pun sulit mengindahkan diri saya, bagian mana yang patut dikaguminya. Pantas saja ia bosan.
jadi bila 'bahaya kejenuhan' menyelimutinya. biarlah saya ke dokter cinta dulu untuk minta obat penawarnya. Karena mungkin saja 'formula obat mengagumi seutuhnya' itu tak mempan. Belum tahu obat mujarab untuknya.
Terbesit, saya beri diri saya susuk pemikat setiap hari. tapi ini lelucon saya.
Menyebalkan memang bila saya berlelucon, sangatlah garing kaya kerupuk.
Kesempatan ini, maaf untuk gadis pantai.
Kata 'seutuhnya' adalah kartu AS saya atau kata kunci. tapi ini kan teori. lagi-lagi prakteknya nol besar.
Entah pikiran setan dari mana, saat menulis ini saya malah mencari kebosanan dengan si gadis pantai. Mencoba-coba, kiranya adakah dari sisinya yang menjadi misiyu (bahan peladak)untuk mempercepat bom waktu kebosanan meledak dan menderitai saya.
ahh sudahlah, itu bukan yang saya ingin flo. jangan jadi misyiu.
Saya sedang jenuh
Terkadang merasa jenuh ketika mengingat pertemuan-pertemuan kita yang lalu. Kita habiskan waktu berdua dari satu tempat ke tempat lain. Tempat yang menawarkan hiburan dengan tukarkan uang kita. Tempat publik yang tak membuat kita sempat diam sejenak berdua saja. Jenuh itu menjadi suatu kemalasan ketika saya hendak bertemu kamu. Malas untuk ke tempat itu lagi dan melakukan kegiatan itu lagi. Sudah lama saya simpan ini darimu.
Sampai tadi malam kita berbincang lewat handphone. Saya katakan jenuh, kamu balas itu sesuatu yang wajar. Ah, kamu begitu sabarnya menghadapi saya. Sudah kerapkali saya berlagak seperti anak kecil yang tak kebagian permen, tapi kamu memaklumi saya. Sampai sekarang, ketika saya menulis ini, saya masih merasa jenuh dengan memori yang lalu. Tapi ini bukan jenuh akan hubungan kita. Tidak sama sekali. Atau, saya pikir, jenuh ini karena saya temukan realitas yang berbeda, yang tak membosankan, dan realitas itu saya bandingkan dengan realitas kita berdua. Sampai saya tahu mana sesuatu yang disebut membosankan dan mana yang tidak.
Mungkin sikap ini hanya sementara. Saya hendak membiarkan saja rasa ini bergelayut dalam diri. Sampai nanti saatnya saya tak jenuh lagi. Hanya berharap agar kamu mengerti, itu saja.
Kamis, 09 Oktober 2008
bersyukur
hhuuuh... bila layak untuk dicerritai soal si gadis pantai. gw punya kesimpulan sedikit: dia itu seperti "bidadari penyelamat" (mengutip syair bim-bim slank). besoklah gw cari kesimpulan soal dia lagi. gak susah kok, itu manusia (bidadari sempurna) bisa digambarkan kebaikan lewat mana aja.
Rabu, 08 Oktober 2008
Siang Itu Menyenangkan
Senang rasanya waktu saya berkeliling unpad bersamamu. Walaupun tidak semua wilayah kampus itu dijelajahi saya merasa puas. Yang paling membuat saya terbahak-bahak adalah ketika kamu malas berjalan ke arah kandang sapi. Katamu jalannya terlalu menanjak, capek. Bagaimana mungkin orang sekuat dirimu enggan berjalan kaki menanjak ketinggian aspal di seberang
Saat saya ajak kamu ke jembatan cincin kamu bilang jauh, malas rasanya. Sudah saja saya tarik tanganmu supaya kita menuju ke
Sekali lagi saya katakan: saya senang hari itu. Berjalan kaki berdua sambil becanda dan bergombal-gombal ria. Mungkin suatu kali kita bisa seperti itu lagi. Tidak hanya memaku diri di atas motor dan berhimpun bersama segala hiruk-pikuk ibukota yang membuat kepala saya pusing.
Sabtu, 13 September 2008
senin 8:9:08
aku tidak mau hari ini cepat berlalu
aku menunggu kabar dari dunia
berharap yang baik aku dengar
sinaran bubuhi pagi
harap cemas menyerang siangku
sampai setibanya senja
hatiku redup juga
isi kepala gelap
pasti kabar itu pupus
tanda-tanda tak becus
aku juga salah
sudahlah!
lagi-lagi ini:
hanya jari-jari Tuhan
yang mampu merenggut
seonggok harapan yang tergenggam
aku setuju tentang jari-jariNya
tak perlu sedih atau marah
lebih baik takut akan murkaNya
itu cukup sudah
Selasa, 19 Agustus 2008
sampai jumpa nanti kuharus pergi
Saya suka lagu ini. Teringat pertemuan kita sebelum saya naik kereta.
Sebelum Senja - Laluna
Oh indahnya berada di sini ketika bersamamu
Kita nikmati waktu di malam yang syahdu
Terkadang kita bersandiwara seolah bahagia
Dalam tawa yang panjang, harap duka hilang
Sampai jumpa nanti kuharus pergi
Sebelum senja dan mentari terbenam
Sampai jumpa nanti kuharus pergi
Sebelum senja dan mentari terbenam
Namun kini aku harus pergi
Tinggalkan semua ini
Pergi bersama mimpi, temukan damai di hati
Sampai jumpa nanti kuharus pergi
Sebelum senja dan mentari terbenam
Sampai jumpa nanti kuharus pergi
Sebelum senja dan mentari terbenam
Senin, 18 Agustus 2008
Jogja, saya kembali
Seorang kawan mengajak saya datang ke bookfair di Jogja Expo Center. Tanpa sungkan saya langung menganggukan kepala. Pesta buku memang tidak boleh dilewatkan. Harga buku-buku pastinya lebih murah dibandingkan di toko buku. Dengan berkendara motor saya diboncengi kawan saya itu. Keluar dari Sonosewu kami melaju ke arah timur. Jalan raya tidak padat dengan kendaraan. Sepi untuk ukuran kota Jakarta. Mata saya menangkap banyak lesehan diobral di pinggir jalan raya.
Wow! Saya di Jogja. Haha... Saya tertawa dalam hati, sedangkan bibir saya mengulas senyum tak tertuju. Ternyata kawan saya menangkap senyum saya lewat kaca spion motornya.
”Kenapa senyum-senyum?”, tanyanya.
”Ingat keinginan saya yang akhirnya kesampaian,” jawab saya.
”Pengen ke Jogja ya dari dulu.”
Dia mulai menebak. Saya balas saja dengan senyuman dan sedikit anggukan kepala. Pikiran saya melayang.
Akhir Desember 2007. Waktu itu saya mengantar seorang kawan kosan yang hendak diwawancara untuk pekerjaan. Bertiga kami ke Jogja naik kereta api ekonomi dari stasiun Kiara Condong. Sampai di stasiun Lempuyangan kami langsung mencari tempat calon pekerjaan kawan saya. Tempatnya cukup dekat dengan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Arah timur kalau saya tak salah ingat. Beres diwawancara kami menuju Malioboro. Di sana kami temukan sebuah angkringan yang belakangan kami ketahui harganya mahal. Rencananya, malam itu kami akan tidur di depan benteng. Mungkin maksud kawan saya benteng Vredenburg di sudut Malioboro. Senanglah saya karena bisa menikmati Jogja jelang awal 2008. Saya sudah berharap bisa jalan ke Borobudur dan keraton. Ketika saya kecil saya pernah datang ke kedua tempat itu. Tapi saya lupa bagaimana rupanya. Jadilah saya menggebu-gebu untuk kunjungi Borobudur dan keraton. Sayangnya, harapan saya itu kandas. Mungkin karena lelah dan bingung mencari tempat untuk tidur jadilah kami bertiga pulang malam harinya. Tak ada jalan-jalan. Tak ada cerita tidur di Jogja.
Maret 2008. Kala itu saya bercerita kepada seorang kawan. ”Suatu hari nanti saya ingin ke Jogja, tinggal beberapa hari di sana.” Kawan saya itu hanya mendengarkan. Dia memang begitu adatnya. Kalau saya cerita hanya duduk terdiam, tidak memberikan tanggapan apa pun sampai cerita saya selesai. Tidak ada anggukan kepala, kerlingan mata, atau suara ”iya”. Mungkin saja ia tidak ingat kalimat saya itu. Namun, saya masih ingat. Ucapan itu saya lontarkan di sebuah kedai bakso di dekat stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Kalau kawan saya itu tak ingat, baiklah ditanyakan kepada kereta api yang hilir mudik di atas stasiun Cikini.
Mei, 2008. Saya dan seorang kawan dekat datang ke Jogja. Di sana hanya semalam. Kami tidur di sebuah sekolah depan masjid besar dekat keraton. Beralaskan berlembar-lembar koran dan dibungkus angin dingin. Seharian itu saya mengelilingi Malioboro, keraton, museum Kereta Kencana, dan nonton pagelaran seni. Senang rasanya saya waktu itu. Berjalan kaki terus. Walaupun lelah tapi saya senang.
Agustus 2008. Saya turun dari kereta api di stasiun Lempuyangan. Tengok kanan kiri tak ada orang yang saya kenal. Saya sendiri sekarang, di Jogja. Tak ada kawan yang menemani. Selamat datang di Jogja, ucap saya dalam hati.