Seorang kawan mengajak saya datang ke bookfair di Jogja Expo Center. Tanpa sungkan saya langung menganggukan kepala. Pesta buku memang tidak boleh dilewatkan. Harga buku-buku pastinya lebih murah dibandingkan di toko buku. Dengan berkendara motor saya diboncengi kawan saya itu. Keluar dari Sonosewu kami melaju ke arah timur. Jalan raya tidak padat dengan kendaraan. Sepi untuk ukuran kota Jakarta. Mata saya menangkap banyak lesehan diobral di pinggir jalan raya.
Wow! Saya di Jogja. Haha... Saya tertawa dalam hati, sedangkan bibir saya mengulas senyum tak tertuju. Ternyata kawan saya menangkap senyum saya lewat kaca spion motornya.
”Kenapa senyum-senyum?”, tanyanya.
”Ingat keinginan saya yang akhirnya kesampaian,” jawab saya.
”Pengen ke Jogja ya dari dulu.”
Dia mulai menebak. Saya balas saja dengan senyuman dan sedikit anggukan kepala. Pikiran saya melayang.
Akhir Desember 2007. Waktu itu saya mengantar seorang kawan kosan yang hendak diwawancara untuk pekerjaan. Bertiga kami ke Jogja naik kereta api ekonomi dari stasiun Kiara Condong. Sampai di stasiun Lempuyangan kami langsung mencari tempat calon pekerjaan kawan saya. Tempatnya cukup dekat dengan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Arah timur kalau saya tak salah ingat. Beres diwawancara kami menuju Malioboro. Di sana kami temukan sebuah angkringan yang belakangan kami ketahui harganya mahal. Rencananya, malam itu kami akan tidur di depan benteng. Mungkin maksud kawan saya benteng Vredenburg di sudut Malioboro. Senanglah saya karena bisa menikmati Jogja jelang awal 2008. Saya sudah berharap bisa jalan ke Borobudur dan keraton. Ketika saya kecil saya pernah datang ke kedua tempat itu. Tapi saya lupa bagaimana rupanya. Jadilah saya menggebu-gebu untuk kunjungi Borobudur dan keraton. Sayangnya, harapan saya itu kandas. Mungkin karena lelah dan bingung mencari tempat untuk tidur jadilah kami bertiga pulang malam harinya. Tak ada jalan-jalan. Tak ada cerita tidur di Jogja.
Maret 2008. Kala itu saya bercerita kepada seorang kawan. ”Suatu hari nanti saya ingin ke Jogja, tinggal beberapa hari di sana.” Kawan saya itu hanya mendengarkan. Dia memang begitu adatnya. Kalau saya cerita hanya duduk terdiam, tidak memberikan tanggapan apa pun sampai cerita saya selesai. Tidak ada anggukan kepala, kerlingan mata, atau suara ”iya”. Mungkin saja ia tidak ingat kalimat saya itu. Namun, saya masih ingat. Ucapan itu saya lontarkan di sebuah kedai bakso di dekat stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Kalau kawan saya itu tak ingat, baiklah ditanyakan kepada kereta api yang hilir mudik di atas stasiun Cikini.
Mei, 2008. Saya dan seorang kawan dekat datang ke Jogja. Di sana hanya semalam. Kami tidur di sebuah sekolah depan masjid besar dekat keraton. Beralaskan berlembar-lembar koran dan dibungkus angin dingin. Seharian itu saya mengelilingi Malioboro, keraton, museum Kereta Kencana, dan nonton pagelaran seni. Senang rasanya saya waktu itu. Berjalan kaki terus. Walaupun lelah tapi saya senang.
Agustus 2008. Saya turun dari kereta api di stasiun Lempuyangan. Tengok kanan kiri tak ada orang yang saya kenal. Saya sendiri sekarang, di Jogja. Tak ada kawan yang menemani. Selamat datang di Jogja, ucap saya dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar